Hasan Jufri - Bulan Maulid (Molod) telah tiba. Bulan kelahiran Nabi agung akhir zaman. Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan ini, maka ada keberkahan baginya. Di banyak tempat digelar pembacaan sirah Nabi (al-Barzanji, ad-Dzibai, Burdah, Simtut Dhurar, Syaraful Anam, dll) diselingi nasehat-nasehat dari para dai tentang keteladanan dan kemuliaan Nabi SAW. Berbagai hidangan disuguhkan untuk melengkapi rasa suka cita tersebut.
Di Pulau Bawean ada tradisi unik yakni membawa angkaan. Aneka bentuk dan isinya biasanya dimusyawarahkan. Pada hari pelaksanaan, semuanya mendapatkan bagian. Membawa satu, pulang dapat satu. Di luar Pulau Bawean, belum ditemukan tradisi membawa angkaan. Biasanya mereka makan bersama dan pulang membawa oleh-oleh ala kadarnya.
Ada beragam kisah tentang angkaan ini. Mulai dari yang positif sampai negatif. Kisah positif itu antara lain: tradisi angkaan ini ternyata menarik hati para wisatawan. Mereka mengabadikan kegiatan molod di Bawean dan diceritakan ke pelbagai penjuru. Bahkan, mereka juga membawa angkaan ke luar Bawean.
Kisah negatifnya adalah kasak-kusuk seputar angkaan. Sebagian orang mempermasalahkan bagian yang ia terima. Ia merasa rugi karena bagiannya lebih kecil dari angkaan yang ia bawa.
Kenapa ini terjadi? Karena niat yang salah. Membawa angkaan diniati berdagang. Tentu yang diharapkan adalah keuntungan. Ketika rugi maka panitianya yang menjadi sasaran. Pertanyaan selanjutnya, kenapa niatnya banyak yang salah? Karena zaman ini adalah zaman bendawi. Semuanya diukur dengan benda dan materi.
Adakah solusi? Tentu ada. Yakni, para dai dan panitia tak bosan-bosannya mengingatkan bahwa niat membawa angkaan adalah bergembira atas lahirnya Nabi pemberi syafaat. Nabi yang menerangi dunia dengan cahaya ilmu dan peradaban. Kegembiraan atas datangnya petunjuk ini tentu tidak sebanding dengan angkaan yang kita bawa.
Nasehat yang tidak sambung dengan logika kapitalisme memang sering mental. Orang yang pikirannya penuh dengan materi, maka sulit mencerna tentang syafaat, keberkahan dan hal-hal yang tidak tampak oleh panca indera. Mereka memuja angka dan benda secara berlebihan. Pikiran ini adalah buah dari propaganda Marxisme dan Darwinisme. Marxisme mencitakan dunia tanpa kelas. Sampai hari ini mimpi itu tidak pernah kesampaian. Sedangkan Darwinisme menyodorkan teori bahwa untuk bisa hidup eksis maka harus menginjak orang lain.
Islam datang menolak keduanya. Islam menegaskan bahwa ragamnya kelas, kelompok, etnis bahkan agama adalah ketetapan Allah (sunnatullah). Harmoni akan tercipta bila mereka saling mengenal dan mengasihi. Si kaya menyayangi si miskin dan si miskin menghormati yang kaya. Saling mengulurkan tangan dan mendoakan yang baik. Islam tidak pernah meninggikan derajat seseorang karena warna kulit, bentuk hidung dan rambut, suku, kelompok dan aksesoris yang lain. Kemuliaan seseorang dihasilkan dari perilaku dan keimanannya (taqwa). Dari itu, tanggalkan niat berdagang ketika membawa angkaan.
Tulisan: Gus Ali Asyhar, M. Pd.I