HASAN JUFRI - Sebuah cerita yang menarik penuh dengan hikmah islam datang dari seorang kiyai. Suatu hari ketika bepergian, di ketika beliau turun dari bus di terminal Terboyo Semarang, Kyai kecopetan. Entah telah tahu atau memang pura-pura tak tahu, Kyai tak perduli jika baru saja kecopetan. Santri yang mendampingi tahu kejadian kecopetan terperanjat, seketika itu pun mereka pada mengejar pencopetnya.
"Copet ...! Pencopet ...!" teriaknya sambil mengejar. Suasana jadi gaduh, serabutan, lantaran orang lain ikutan menguber pencopet.
Namun sayang, pencopetnya terlalu lincah berlari dan tampaknya cukup menguasai medan sampai tidak berhasil diringkus. Para santri pada kecewa dan marah-marah kepada pencopet yang telah raib itu. Berani-beraninya si pencopet mengganggu sang Kyai, demikian kira-kira pikir mereka. Copetnya pun keterlaluan, tak lihat-lihat siapa yang akan dijadikan korban. Dan pasti saja, copet tak peduli hal tersebut. Kemungkinan yang diingat oleh copet yakni duit, duit dan duit.
Bagi pencopet, siapa saja yang pegang duit, duit tetap bernilai duit. Yang juga tak kalah mengherankan adalah Kyai tersebut, tak perduli dengan apa yang baru saja terjadi. Seolah-olah tak terjadi apa-apa pada beliau. Tenang-tenang saja, sibuk bersama dzikirnya. Sampai-sampai santrinya harus memberi tahu bahwa Kyai baru saja kehilangan dompet disikat pencopet.
"Kyai, Njenengan baru saja kecopetan!" kata santrinya memberitahu.
"Oh, ya?" jawab Kyai tenang.
"Benar, Kyai. Tetapi kami gagal menangkapnya! Keterlaluan betul pencopet itu!"
"Alhamdulillah .... Sudahlah kalian tak perlu ribut-ribut. Aku bersyukur, yang dicopet itu aku!"
"Apa maksudnya Kyai?"
"Syukur.... syukur..... Alhamdulillah. Lantaran aku yang dicopet, bukan aku yang menjadi pencopetnya!"
Pasti saja para santri pada bengong mendengar jawaban Kyai.
"Kok bisa demikian Kyai?"
"Sekarang apa jawab kalian jika saya bertanya, lebih baik mana, jadi orang yang dicopet atau jadi tukang copetnya?" tanya beliau setelah itu.
Jawaban Kyai sungguh tidak terbantahkan, masuk akal. Nuansa zuhud dan kesufian mengiringi ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang menyertai beliau pada geleng-geleng kepala tanda paham dan takjub. Para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam teori. Rupanya, dalam musibahpun dapat timbul rasa syukur, seperti yang telah dicontohkan Kyai tersebut.
Tulisan Gus Ali Asyhar. M. Pd.I
Foto Ilustrasi