Ketika
melakukan puasa sunah, terkadang seseorang mendapatkan suguhan makanan maupun
minuman dari orang lain yang tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Keadaan
itu sering dilema, apakah membatalkan puasa sunahnya atau tetap melanjutkan.
Dalam menghadapi
keadaan demikian, apabila ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang lain yang
memberikan makanan, maka lebih utama membatalkan puasa dan ia sudah mendapatkan
pahala yang telah dilakukannya. Namun apabila ada tidak kekhawatiran
menyinggung perasaan orang tersebut, maka lebih baik untuk tetap berpuasa dan
mengatakan secara halus bahwa ia sedang berpuasa., maka Syekh Zainuddin
al-Malibari menjelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:
يُنْدَبُ الْأَكْلُ فِي صَوْمِ نَفْلٍ وَلَوْ
مُؤَكَّدًا لِإِرْضَاءِ ذِي الطَّعَامِ بِأَنْ شَقَّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ وَلَوْ
آخِرَ النِّهَارِ لِلْأَمْرِ بِالْفِطْرِ وَيُثَابُ عَلَى مَا مَضَى وَقَضَى
نَدْبًا يَوْمًا مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ يَشُقُّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ لُمْ
يُنْدَبِ الْإِفْطَارُ بَلِ الْإِمْسَاكُ أَوْلَى قَالَ الْغَزَالِي: يُنْدَبُ
أَنْ يَنْوِيَ بِفِطْرِهِ إِدْخَالَ السُّرُوْرِ عَلَيْهِ.
“Disunahkan
membatalkan dengan makan ketika puasa sunah meskipun puasanya sangat dianjurkan
dalam rangka melegakan pemberi makanan. Hal itu dilakukan ketika ia merasa
sulit untuk tetap melanjutkan puasanya, meskipun telah di penghujung hari.
Membatalkan itu adalah perintah dan ia akan mendapatkan pahala puasa yang telah
dilakukannya. Ia juga dianjurkan untuk menqadlai di lain hari. Namun apabila ia
tidak merasa sulit mempertahankan puasanya, maka tidak dianjurkan membatalkan
puasa dan hal itu lebih utama. Imam al-Ghazali menambahkan, saat membatalkan
puasanya disunahkan berniat membahagiakan orang yang memberikan makanan.”[1]
Imam
Taqiyudin al-Hishni juga menjelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:
وَمَنْ شَرَعَ فِي صَوْمِ تَطَوُّعٍ لَمْ
يَلْزَمْهُ إِتْمَامُهُ وَيُسْتَحَبُّ لَهُ الْاِتْمَامُ فَلَوْ خَرَجَ مِنْهُ
فَلَا قَضَاءَ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ وَهَلْ يُكْرَهُ أَن يَخْرُجَ مِنْهُ نَظَرٌ
إِنْ خَرَجَ لِعُذْرٍ لَمْ يُكْرَهْ وَإِلَّا كُرِهَ وَمِنَ الْعُذْرِ أَن يُعِزَّ
عَلَى مَنْ يُضِيْفُهُ امْتِنَاعَهُ مِنَ الْأَكْلِ
“Orang yang berpuasa sunah tidak wajib
menyelesaikannya. Akan tetapi ia dianjurkan untuk menyelesaikannya. Apabila ia
membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada keharusan qadha baginya,
tetapi hanya dianjurkan (qadha). Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh?
permasalahan ini patut dipertimbangkan. Apabila ia membatalkannya karena uzur,
maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena udzur tertentu, maka pembatalan puasa
sunah makruh. Dan di antara contoh uzur
ialah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang dapat mencegahnya untuk
makan.”[2]
Ketentuan
ini hanya berlaku hanya pada puasa sunah. Adapun puasa wajib (Ramadhan, puasa
Qadla, dan puasa Kafarat) harus tetap melanjutkan puasanya. []waAllahu a’lam
[1]
Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, hlm. 493.
[2]
Taqiyudin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, I/208.
Sumber : Lirboyonet
As
Shodiq
As
Shodiq
Tags:
Kajian Islami