Dalam kitab Negarakertagama_disebutkan bahwa Pulau
Bawean bernama Buhun. Dalam cacatan Serat _Praniti Wakya Jangka Jaya Baya
dijelaskan bahwa penduduk Bawean bermula pada tahun 8 skala, yang sebelumnya
belum berpenghuni. Pemerintahan klonial Belanda dan Eropa pada abad ke 18
menanamakan pulau ini dengan sebutan lubeck, Baviaan, Boviqn, Lobok.
Pada awalnya diduga bahwa Pulau Bawean dihuni oleh
penduduk yang berasal dari Madura (1350 M), hal ini terlihat dari gaya bahasa
ibu di sebagian besar penduduk Bawean mirip dengan bahasa Madura. Akan tetapi
kapan proses ini mulai tidak bisa dipastikan. Menurut cerita rakyat Bawean,
orang Masura masuk bersama dengan kedatangan agama Islam yang dibawa oleh
Maulana Umar Mas'ud, yang yang lebih dahulu mengalahakan raja Babi yang kafir
dan kaya sihir. Meski demikian, orang Bawean tidak mau disebut orang Madura,
mereka menamakan dirinya sebagai orang Bawean. Alasan yang dikemukakan orang
bawean tentang perbedaan mereka dengan orang Madura, yaitu: orang Bawean
berasal dari keturunan campuran (Jawa, Madura, Bugis, Mandar dan Palembang).
Berdasarkan catatan histografi_menyebutkan bahwa di
Pulau Bawean telah berdiri kerajaan Islam di bawah penguasaan Sayyid Maulana
Umar Mas'ud pada tahun 1601-1630, hingga generasih ketuju penerusnya yakni
Raden Panji Prabunegoro atau Raden Tumenggung Pandji Tjokrokusumo pada tahun
1747-1789. Sampai pada tahun 1743 pulau ini berada di bawah kekuasaan Madura.
Raja Madura terakhir adalah Tjakraningrat IV dari bangkalan. Apda tahun itu,
VOC menduduki pulau ini dan memerintahnya melalui seorang _prefect(kepala
deprtemen). Kemudian sesudah pulihnya pemerintahan sementara oleh Inggris,
pulau Bawean menjadi ke-asistenresiden-an yang terpisah di bawah Surabaya,
kemudian digabungkan dengan _afdeling_Gresik di bawah seorang kontrolir, dan
sejak tahun 1920 sampai 1965 menjadi kawedanan. Sejak tahun 1965 pulau ini
diperintah oleh dua camat dalam bahasanya. Walaupun sebagian penduduknya
berasal dari Madura, lama-kelamaan terbentuk kebudayaan barunyang terpisah dari
Madura. Penduduk Bawean kemudian semakin berorientasi ke darerah perantauan,
khususunya Singapura dan pesisir barat Melayu, sehingga unsur-unsur kebudayaan
Melayu mulai berpengaruh dan mendominasi.
Kelompok penduduk lain, yang sejak dahulu kala ikut
menghuni pualau Bawean adalaha penduduk Sulawesi. Nelayan Bugis menemukan
tempat nafkahnya di perairan yang kaya akan ikan disekeliling pulau Bawean
terutama bagian utara. Mereka menghuni Desa Sidogedungbatu, Kepuhlegundi,
Kepuhteluk, Tanjungori, Tambak, Pekalongan, Sukaoneng dan Gelam.
Di Bawean bagian utara, juga terdapat desa Diponggo
yang sebagian besar penduduknya berbahasa Jawa. Langgengya bahasa jawa di Desa
Diponggo diduga adalah bagian dari keramat (keistimewaan) seorang penyebar agama
islam yang bernama Waliyah Zaenab (1580 M). Ia adalah cucu dari Sunan Sendang
Dhuwur Paciran Lamongan yang menikah dengan cucu sunan giri yang bernama
pangeran Sedo Laut (meninggal di laut). Waliyah Zainab datang ke Bawean bersama
suami dan kerabatnya. Naas, perahu yang ditumpanginya mendapat musibah dan
tenggelam. Suami Waliyah Zaenab dan beberapa kerabatnya meninggal dunia. Yang
selamat hanya dua orang , yaitu Waliyah Zaenab dan satu pembantunya bernama
yang bernama Mbah Rambut.
Selain itu juga, ada juga kelompok pedagang yang
berasal dari Palembang disebut Kemas. Dahulu, kelompok Kemas ini adalah
pengusaha kaya raya di Bawean, namun sekarang sudah tidak lagi tampak
kelebihannya di bandingkan dengn masyarakat bawean lainny. Sudah barang tentu,
semua kelompok penduduk in telah memberi warna kehidupan pulau tersebut. Lagi
pula,hasrat merantau orang Bawean juga telah membawa pengaruh terhadap
komposisi Asia di pulau ini.
Tags:
Edukasi