Terlalu peduli pada aturan seringkali membuat kita melupakan ruh
atau hakikat sesuatu. Dalam sebuah kisah sufi yang terkenal dari diceritakan
ada seorang cendekiawan yang sedang Mendayung perahu di sebuah danau yang luas.
Ia mendekati sebuah pulau kecil dan mendengar seorang Darwis melantunkan lafadz
Allahu akbar.
Namun si Darwis melafalkan frasa bahasa Arab sangat buruk, sehingga
Iya (lafal yang terdengar) menjadi Allahu himar (Allah itu keledai). Tentu saja
cendekiawan itu terkejut dan dengan cepat Mendayung ke arah Pulau itu untuk
menegur si Darwis dan mengoreksi ucapannya. Setibanya di Pulau itu ia segera
menemui si Darwis dan menjelaskan kekeliruannya. Ia juga mengatakan bahwa jika
diucapkan dengan penuh ketulusan dan keimanan frasa suci ini dapat memberi
kekuatan yang sangat besar sehingga orang itu bahkan bisa berjalan di atas air.
Setelah mengoreksi Darwis cendekiawan itu kembali pulang dengan
Mendayung perahunya. Hatinya diliputi oleh rasa senang dan bahagia karena
merasa telah melakukan amal Suci yakni, mengoreksi salah ucap di Darwis ia
merasa telah memberikan pelayanan kepada pria Malang yang ceroboh itu.
Namun beberapa menit kemudian si cendekiawan mendengar satu suara
menyeru dibelakangnya. Ia sangat terkejut ketika melihat Darwis itu berlari di
atas air sampai berteriak “Tunggu, Tolong ulangi lagi Bagaimana melafalkannya
dengan benar, aku hawatir Sulit Bagiku melafalkannya dengan benar, karena aku
telah melafalkannya dengan salah begitu lama”. Cendekiawan yang masih diliputi
ke itu menjawab pelan “Temanku lafalkan saja karena engkau tahu Allah pasti
akan menerima ibadah mu apa adanya”.
Marilah teman kita mengambil pelajaran dari cerita ini. Janganlah kita
terlalu gampang mengoreksi orang lain, apalagi menyalahkannya, karena tidak
semua yang tampak adalah kebenaran. Dan juga jangan sampai kita selalu
mengingat-ingat amal baik yang telah kita lakukan apalagi menceritakannya
kepada orang lain, cukuplah sandarkan kepada Allah yang maha kuasa atas amal
baik yang telah kita perbuat.
dikutip dari ngopi di pesantren hal. 33