PADA
suatu hari, di bawah terik matahari yang menyengat, seorang pemuda menunggang
kuda menempuh perjalanan jauh. Alangkah bahagia ketika ditengah perjalanan ada
sumur kecil dipenuhi air bening yang dikelilingi ranting pohon. Ia berhenti dan
meminum tegukan air. Lalu istirahat sejenak di bawah rindang pohon besar yang
memayungi sumur. Karena kelelahan, ia tertidur. Sementara bekal uang selama
perjalanan ditaruh dikantong kulit dileher kuda.
Dalam
lelap, pemuda lain datang bermaksud minum air sumur. Mendapati sekantong uang
terikat dileher kuda. Ia menyambar, Lalu pergi dengan hati berseri-seri. Selang
beberapa menit, datang tukang kayu hendak mengambil air sumur. Ketika si
tukang kayu meletakkan seikat kayu bakar yang di pikul ke tanah. Pemuda itu
terbangun.
mendapati seorang berdiri di dekat kuda, si
pemuda melirik kantong uang yang aku lilitkan dileher kudaku?” bentaknya sambil menuding keleher kuda, “kantong
uang apayang tuan maksud?” tukang kayu kebingungan. Kesal atas jawaban
tersebut. Pemuda itu mengeluarkan pedang dan melibas leher tukang kayu. Setelah
korban tewas, Pemuda memeriksa sekujur pakaian korban mencari kantong uangnya.
Ia tidak menemukannya dan tersadar jika uangnya tidak dicuri si tukang kayu.
Seorang Nabi yang tengah bersemedi di
dekat sumur menyaksikan peristiwa itu. Ia tiba pada nasib tukang kayu lalu
berdo’a “Ya Allah! Sungguh malang nasib
tukang kayu itu Ia dibunuh secara zalim atas kesalahan orang lain.”
Allah lalu menurunkan wahyu kepada Nabi. “Jangan ganggu ibadahmu. Itu bukan urusanmu. Sesungguhnya ayah pemuda penunggang kuda pernah mencuri uang dari ayah pemuda yang mengambil kantong uang. Itu bukan pencurian. Tetapi mengambil hak yang dirampas. Adapun ayah tukang kayu itu pernah membunuh ayah pemuda penunggang kuda, maka anggaplah itu tebusan atas kesalahan ayahnya.”
Hikayatul-Auliya, hal:40