Ingat mati itu lebih baik daripada
mengingat kemiskinan. Sehingga semuanya kan lebih bermakna dalam berkehidupan
sehari-hari. Mengapa demikian?
Kan terjawab dengan berpikir lebih dewasa. Berpikirpun
harus menggunakan ilmu, kaena kalau tidak, pemikiran kita bukan mendapat ridho
dari Allah, malah justru dapat menjauhkan diri kita dari rahmat dan ridho Allah
SWT.
Di luar sana banyak kok yang mengandalkan
logika. Tanpa harus mengetahui mana perkara yang hak dan dan yang bathil. Namun
apakah yang seperti ini dibenarkan?
JAWAB: tentu saja tidak.
Ingat mati lebih baik daripada ingat
miskin. Karena, bayangkan saja bila kita ingat miskin ujung-ujungnyapun dunia. Bukankah
rezeki itu datangnya dari Allah? Beda halnya ingat mati, kerena mengingat kematian
itu juga termasuk suatu hal yang paling baik. Seperti percakapan dibawah ini.
Umar ibn Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar al-Shidiq,
pernah berkata:
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم عاشرَ عشرةٍ , فقال رجلٌ من الأنصارِ : من أكيَسُ النَّاسِ وأكرمُ النَّاسِ
يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : أكثرُهم ذِكرًا للموتِ وأشدُّهم استعدادًا له أولئك هم
الأكياسُ ذهبوا بشرفِ الدُّنيا وكرامةِ الآخرةِ
.
''Bersama sepuluh orang, aku
menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, 'Siapa orang
paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Orang yang paling
banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang
yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan
akhirat'.'' (hadits riwayat Ibnu Majah).
Dengan itu, ingat mati kita dapat
berpikir untuk mempersiapkan amal apa yang akan kita pertangggung jawabkan
kelak di hadapan Allah.