Adam dan Hawa diusir dari surga karena melanggar larangan memakan buah khuldi, Lalu mereka diturunkan ke bumi. Mereka mulai menjalani kehidupan baru di tempat tersebut dan mulai memiliki anak-anak.
Hawa melahirkan dua pasang anak kembar, yaitu Qabil, Iqlima, Habil, dan Labuda. Qabil adalah saudara kembar Iqlima, sementara Habil adalah saudara kembar Labuda. Namun, kisah yang paling terkenal adalah perseteruan antara Qabil dan Habil.
Dalam buku Kisah Para Nabi Sejarah Lengkap Kehidupan Para Nabi, yang disusun oleh Ibnu Katsir dan As-Sadi, dikutip dari Abu Malik, Abu Shalih, Ibnu Abbas, Muhrrah, dan Ibnu Mas'ud, serta sebagian sahabat Nabi, disebutkan bahwa setelah keempat anak tersebut dewasa, Allah memerintahkan Adam untuk menikahkan mereka dengan pasangan yang bukan saudara kandung. Qabil dinikahkan dengan Labuda, sedangkan Habil dinikahkan dengan Iqlima.
Namun, Qabil merasa dengki karena Labuda dianggap tidak seindah Iqlima. Ia merasa iri karena Habil dapat menikahi saudari kembarnya. Bahkan, Qabil mendapat bisikan dari iblis untuk membunuh Habil.
Dalam keadaan ini, Nabi Adam yang tidak ingin melanggar anjuran Allah dan menghendaki kebaikan bagi kedua putranya, memerintahkan mereka untuk berkurban.
Habil dan Keimanannya
Dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, terdapat kisah tentang dua putra Adam yang bernama Qabil dan Habil. Qabil memiliki ladang pertanian, sementara Habil memiliki peternakan kambing. Sesuai perintah Allah, keduanya menyerahkan kurban mereka.
Habil memilih mengurbankan hewan ternak yang paling gemuk sebagai kurban, sedangkan Qabil mengurbankan hasil pertaniannya yang memiliki kualitas terendah. Allah mengirimkan api sebagai tanda bahwa Ia telah menerima kurban dari Habil, dan api itu menyambar kurban yang telah diserahkan.
Keputusan Allah ini membuat Qabil merasa marah dan mengancam Habil, "Aku benar-benar akan membunuhmu sampai kamu menikahi saudari perempuanku yang kembar."
Namun, Habil dengan tegas menjawab, "Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa."
Tidak berhenti di situ, ketika Habil mendapatkan ancaman pembunuhan dari saudaranya, ia menegaskan bahwa ia tidak akan membalas membunuh Qabil. Hal ini juga dicatat dalam Al-Quran, Surat Al-Ma'idah Ayat 28:
لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَىَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِى مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَدِىَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya: "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam".
Sikap Habil menunjukkan bahwa ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan memilih untuk tetap berpegang pada keimanannya. Ia merasa takut akan konsekuensi dari perbuatan jahat tersebut di hadapan Allah. Habil memberikan sikap teladan kepada manusia bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.
Qabil membunuh Habil
Kisah Qabil dan Habil yang disebutkan dalam Surat Al-Maidah ayat 27-31 Al-Quran menggambarkan bagaimana Qabil, yang tergila-gila oleh kegelapan hatinya, memutuskan untuk membunuh Habil.
Menurut beberapa ulama, Qabil membawa jenazah Habil selama satu tahun setelah melakukan pembunuhan terhadap saudaranya. Namun, ada pula yang menyebutkan periode seratus tahun. Akhirnya, Allah mengirimkan dua ekor burung gagak yang bertarung, dan salah satunya mati dalam pertarungan mereka.
Dalam keadaan seperti itu, burung gagak yang masih hidup menggali tanah dan memasukkan bangkai burung gagak yang telah mati ke dalamnya.
Saat melihat perjuangan dua burung gagak tersebut, Qabil pun meniru apa yang mereka lakukan. Dalam keputusasaannya, Qabil berkata, "Aduh, betapa celakanya aku. Mengapa aku tidak mampu melakukan seperti burung gagak ini agar aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Kemudian, Qabil menguburkan jenazah Habil.
Kisah Qabil dan Habil memperingatkan kita akan bahayanya membiarkan dengki dan iri hati menguasai hati. Hal ini menjadi panggilan bagi setiap individu untuk mengembangkan sifat-sifat terpuji dan menjauhkan diri dari sikap tercela yang dapat merusak hubungan sosial dan memecah belah umat manusia.