Pemilu, singkatan dari Pemilihan Umum, adalah proses
demokratis di mana warga negara memilih wakil-wakil mereka dalam suatu
pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu elemen pokok dalam sistem demokrasi
yang bertujuan untuk memberikan hak suara kepada warga negara agar mereka dapat
ikut serta dalam menentukan arah dan kebijakan negara.
Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid, berkesempatan untuk
mengaji secara langsung bersama ulama terkemuka, KH Ahmad Bahauddin atau yang
akrab disapa Gus Baha, seorang ulama Nahdlatul Ulama dari Rembang, Jawa Tengah.
Gus Jazil, yang juga merupakan Pendiri dan Pembina Pondok
Pesantren Modern Sunanul Muhtadin di Gresik, Jawa Timur, memilih membaca kitab
kuning Al-Iqtishod Fil I’tiqod karya Imam Al Ghozali dalam sesi ngaji tersebut.
Dalam kesempatan yang berharga ini, Gus Baha, yang menjabat sebagai pengasuh
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an di Lembaga Pembinaan Pendidikan dan
Pengembangan Ilmu Alquran (LP3IA) di Narukan, Keragan, Rembang, turut serta
untuk mentashih atau mengoreksi langsung bacaan Gus Jazil.
Pertemuan ini menciptakan suasana yang penuh keberkahan dan
edukatif, di mana seorang pemimpin negara seperti Wakil Ketua MPR RI dapat
menggali ilmu dan mendapatkan bimbingan langsung dari seorang ulama terkemuka
dalam memahami kitab kuning yang memiliki nilai keislaman yang tinggi.
Kitab Al-Iqtishod Fil I’tiqod karya Imam Al Ghazali
merupakan sebuah karya yang membahas tentang akidah. Salah satu bab dalam kitab
tersebut menjelaskan mengenai kewajiban mendirikan Imamah atau pemerintahan,
serta pemilihan pemimpin. Menurut Gus Jazil, Wakil Ketua MPR RI, dalam sesi
ngaji yang dihadiri oleh ulama terkemuka Gus Baha, terungkap bahwa kewajiban
ini bukan hanya berasal dari akal pikiran, tetapi juga bersumber dari syariah.
Gus Jazil menjelaskan bahwa Imam Al Ghazali memaparkan
premis bahwa memilih pemimpin menjadi suatu kewajiban karena urusan agama tidak
akan berhasil tanpa keterlibatan dalam urusan dunia. Mengurus dunia juga tidak
akan berhasil tanpa adanya Imam yang ditaati. Dengan kata lain, mendirikan
negara atau memilih pemimpin menjadi bagian dari tujuan syariat.
Dalam konteks ini, Gus Baha menyampaikan pandangannya dengan
mengambil contoh dari buku saku yang ditulisnya, yang mengutip kitab
masterpiece Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin. Gus Baha menekankan bahwa
kemuliaan atau kekuatan tidak dapat terwujud tanpa adanya kepemimpinan. Dia
menegaskan bahwa kekuasaan, partai politik, undang-undang, dan DPR merupakan
syarat-syarat yang wajib untuk mendirikan negara.
Gus Jazil menambahkan bahwa dalam konteks hari ini, partai
politik dan pemilu menjadi bagian yang wajib untuk mendukung pemilihan pemimpin
yang dapat diakui kewibawaannya. Dengan demikian, Gus Jazil menyatakan bahwa
mengikuti pemilu menjadi kewajiban dalam konteks mendirikan negara dan memilih
pemimpin yang dapat ditaati.
Gus Baha juga menyoroti pentingnya memiliki kemuliaan agar
tidak dihina, dan untuk membela Islam, seseorang perlu memiliki pangkat,
kekayaan, atau komunitas yang sadar akan kebenaran. Dia memberikan contoh
tentang melarang sholat di pabrik, dan mengatakan bahwa dengan kekuatan
politik, seseorang dapat mengatur agar karyawan diperbolehkan sholat.
Menurut Gus Baha, agama dan pemerintahan adalah dua saudara
kembar, namun pangkat tidak memiliki arti tanpa kemampuan untuk mengendalikan
hati. Tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai-kiai yang memiliki pengaruh nyata,
dianggap oleh Gus Baha sebagai mereka yang dapat mengendalikan hati dan
memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan berpemerintahan.