Pendahuluan
Hawa nafsu seringkali dianggap sebagai salah satu rintangan utama
dalam menjalankan ibadah. Dalam pandangan Islam, hawa nafsu adalah dorongan
internal manusia yang bisa membawa kepada kebaikan atau keburukan, tergantung
pada bagaimana individu tersebut mengendalikannya. Nahdlatul Ulama (NU),
sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pandangan
yang komprehensif mengenai hubungan antara hawa nafsu dan ibadah, serta
pentingnya pendekatan diri kepada Allah Sang Pencipta dalam menghadapi
tantangan ini.
Hawa Nafsu dalam Perspektif Islam
Dalam ajaran Islam, hawa nafsu sering disebut sebagai nafsu yang perlu dikendalikan. Al-Quran dan Hadis memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya mengendalikan hawa nafsu agar tidak menghalangi seorang Muslim dalam beribadah kepada Allah. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Quran:
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggal (mereka)." (QS. An-Nazi'at: 40-41)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketakutan kepada Allah dan pengendalian
hawa nafsu adalah kunci untuk mencapai surga. Hadis juga menegaskan pentingnya
pengendalian diri, seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
"Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang kuat
adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Perspektif Nahdlatul Ulama (NU)
NU memandang pengendalian hawa nafsu sebagai bagian integral dari
tasawuf, cabang ilmu Islam yang berfokus pada penyucian jiwa dan pendekatan
diri kepada Allah. Dalam tradisi tasawuf yang dipegang oleh NU, hawa nafsu
dianggap sebagai salah satu musuh batin yang harus ditundukkan melalui berbagai
bentuk ibadah dan pengembangan spiritual.
KH. Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dalam karyanya "Adabul 'Alim
wal Muta'allim" menekankan pentingnya pengendalian hawa nafsu bagi seorang
Muslim. Menurut beliau, seorang yang belajar agama harus mampu menahan hawa
nafsunya agar ilmu yang diperoleh bisa membawa manfaat, bukan malah
menjerumuskan.
Pendekatan Diri kepada Allah
Untuk mengatasi tantangan hawa nafsu, NU menganjurkan beberapa metode pendekatan diri kepada Allah, yang meliputi:
Dzikir dan Shalat Malam: Melakukan dzikir dan shalat malam secara
rutin membantu membersihkan hati dan memperkuat hubungan dengan Allah. Amalan
ini sangat ditekankan dalam tradisi NU sebagai cara untuk mendapatkan
ketenangan batin dan kekuatan spiritual.
Puasa Sunnah: Selain puasa wajib di bulan Ramadhan, NU menganjurkan
puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis dan puasa Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14,
15 setiap bulan Hijriah). Puasa ini berfungsi untuk melatih pengendalian diri
dan mengurangi dorongan hawa nafsu.
Mencari Ilmu: Menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas juga merupakan
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan NU, ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang membawa seseorang semakin dekat kepada Allah dan
mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Silaturahmi dan Amal Sosial: Melakukan silaturahmi dan
berpartisipasi dalam kegiatan sosial juga dianggap sebagai ibadah yang
mendekatkan diri kepada Allah. Kegiatan ini mengajarkan kepedulian dan
mengurangi sifat egois yang sering didorong oleh hawa nafsu.
Kesimpulan
Hawa nafsu adalah tantangan yang dihadapi oleh setiap Muslim dalam
menjalankan ibadah. Perspektif NU menekankan pentingnya pengendalian hawa nafsu
melalui berbagai bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Dengan
mengamalkan ajaran tasawuf, memperbanyak dzikir, shalat malam, puasa sunnah,
menuntut ilmu, dan beramal sosial, seorang Muslim dapat mengatasi dorongan hawa
nafsu dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam pandangan NU,
keberhasilan dalam mengendalikan hawa nafsu merupakan salah satu kunci utama
untuk meraih ridha Allah dan kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Referensi
Al-Quran dan Terjemahannya.
Hadis Shahih Bukhari dan Muslim.
Hasyim Asy'ari, KH. "Adabul 'Alim wal Muta'allim".
Situs resmi Nahdlatul Ulama: nu.or.id
Buku-buku tasawuf dan kajian keislaman lainnya yang diajarkan dalam
tradisi NU.
Artikel ini disusun berdasarkan ajaran dan perspektif Nahdlatul
Ulama, serta referensi dari sumber-sumber terpercaya dalam Islam.