Alhamdulillah kita telah memasuki bulan Agustus. Di bulan ini,
seluruh rakyat Indonesia merasakan kebahagiaan tersendiri. Sebabnya adalah
karena pada bulan Agustus, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 M Republik
Indonesia resmi dinyatakan merdeka.
Seperti biasa, mulai awal bulan Agustus, bangsa kita akan
diramaikan dengan berbagai macam perlombaan. Mulai dari daerah perkotaan hingga
pedesaan, bahkan kawasan pedalaman juga akan ramai dengan berbagai macam event
perlombaan guna menyambut hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Islam mengajarkan bahwa cinta tanah air bagian dari Iman. Tanah air
kita adalah Indonesia. Mencintai Indonesia adalah bagian dari iman. Kiai
Muhammad Said dalam kitab Ad-Difa’ ani Al Wathan min Ahammi al-Wajibati ala
Kulli Wahidin Minna halaman 3 menjelaskan bahwa umat Islam wajib menjaga
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ketika memupuk persaudaraan dan persatuan di kalangan Muhajirin, antara
kalangan Muhajirin dan Ansor, serta menyiapkan sesuatu demi kepentingan umat
Islam, umat Yahudi, dan orang-orang Musyrik.
Mencintai tanah air merupakan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Rasulullah mencintai Makkah dan Madinah karena dua tempat
mulia tersebut merupakan tanah air beliau. Mencintai tanah air adalah bagian
dari iman karena tanah air merupakan sarana primer untuk melaksanakan perintah
agama. Kita lahir di bumi Indonesia, menjalankan ibadah di bumi Indonesia,
mencari nafkah di bumi Indonesia, bahkan matipun kita akan dikebumikan di bumi
Indonesia.
Tanpa tanah air, seseorang akan menjadi tunawisma atau gelandangan.
Tanpa tanah air, agama seseorang kurang sempurna, dan tanpa tanah air,
seseorang akan menjadi terhina.
Syekh Muhammad Ali dalam kitab Dalilul Falihin halaman 37
mengatakan:
حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإِيْماَنِ
“Cinta tanah air bagian dari iman.”
Mengapa hubbul wathan minal iman? Mengapa kita perlu mencintai
tanah air Indonesia ini? Karena hanya dengan cinta itulah yang bisa menjadikan
kondisi bangsa dan negara yang aman dan stabil. Umat Muslim bisa beribadah
dengan nyaman, beramal dengan baik, dan dapat beristirahat dengan nyenyak.
Coba bayangkan Negara saudara kita yang dilanda peperangan, seperti
di Suriah, Afghanistan, Irak, dan Libya, mereka tidak seenak dan senyaman kita
dalam kesehariannya. Jangankan untuk bekerja, tidur pun akan dihantui
ketakutan-ketakutan karena kondisi Negerinya tidak aman.
Atsar Khalifah Umar bin Khatab sebagaimana dikutip Syekh Ismail Haki
dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan juz 6 halaman 442 menyatakan:
ﻟَﻮْلَا ﺣُﺐُّ ﺍﻟْﻮَﻃَﻦِ ﻟَﺨَﺮُﺏَ ﺑَﻠَﺪُ ﺍﻟﺴُّﻮْﺀ ﻓَﺒِﺤُﺐِّ ﺍﻟْﺎَﻭْﻃَﺎﻥِ
ﻋُﻤِﺮَﺕِ ﺍْﻟﺒُﻠْﺪَﺍﻥُ
“Seandainya tidak ada cinta tanah air, hancurlah negara yang
terpuruk. Dengan cinta tanah air, negara akan berjaya.”
Dengan kecintaan terhadap tanah air, setiap orang memiliki
keinginan untuk menjadikan tanah airnya maju, aman, dan damai. Dengan cinta
tanah air, seseorang tidak menginginkan bangsanya hancur, terpecah belah, penuh
konflik, dan saling bermusuhan.
Perihal anjuran untuk mencintai tanah air, Nabi memberikan sebuah
contoh teladan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
Shahih Bukhari juz 3 halaman 23:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ
حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ
المَدِينَةِ، أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ
حُبِّهَا»
“Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat
jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah.
Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut.
Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan beliau terhadap tanah airnya. “(HR
Bukhari).
Dalam memaknai hadist di atas, Al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
dalam Fath al-Bari juz 3, hal.705 menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukan
keutamaan Madinah dan dianjurkannya mencintai tanah air serta merindukannya.
Dalam konteks Indonesia, menjaga kemerdekaan RI, menjaga Pancasila, menjaga
Bhineka Tunggal Ika, menjaga NKRI, dan menjaga Undang-undang 1945 adalah bagian
dari iman dan agama.
Selain dengan perlombaan Agustusan, bagaimana kita mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini?
Syekh Muhammad Amin As-Syinqithi sebagaimana dikutip Muhammad Said
dalam kitab Al-Difa’ ani Al Wathan min Ahammi Al Wajibati ala Kulli Wahidin
Minna halaman 24-25 mengatakan bahwa Al-Qur’an telah memposisikan umat Islam
pada posisi yang merdeka, mulia, terhormat, maju, dan mandiri. Ketika umat
Islam dalam posisi terbelakang, miskin, atau dalam kondisi yang mundur, lebih
disebabkan oleh kecerobohan umat Islam sendiri, yaitu meninggalkan kewajiban
dalam mengelola kehidupan duniawi.
Imam An-Nawawi menyatakan dalam pendahuluan kitab al-Majmu’: wajib
bagi umat Islam untuk bekerja, mandiri, dan produktif dalam segala kebutuhan,
walaupun hanya memproduksi sebuah jarum maupun garam. Umat Islam tidak boleh
tergantung pada umat lain . Sebab tolak ukur kekuatan umat Islam tergantung
terhadap kemandiriannya dalam mencukupi kebutuhan.
Untuk mengisi kemerdekaan dan mewujudkan negara Indonesia yang
merdeka, maju dan berdaulat, setiap warga memperjuangkan bangsa sesuai profesi
masing-masing. Jika menjadi pejabat, jadilah pejabat yang baik, amanah, jujur,
dan tidak korupsi.
Jika menjadi pendidik, jadilah pendidik yang baik, produktif dalam
karya ilmiah, jujur, dan mengabdi di masyarakat. Jika menjadi pelajar, jadilah
pelajar yang rajin menuntut ilmu di bidang masing-masing, karena ilmumu kelak
dibutuhkan oleh bangsa dan umat. Dengan pondasi ilmu dan amal, maka kita dan
seluruh rakyat Indonesia tidak akan mudah terpancing dan terprovokasi yang
mengakibatkan terjadinya permusuhan dan pertengkaran antar sesama anak bangsa.
Nauzubillah…
Semoga di gerbang perayaan kemerdekaan Indonesia ke-79 ini, bangsa
kita menjadi negara yang maju, aman, damai, sejahtera, dicintai rakyatnya, dan
menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan diampuni
oleh Allah subhanahu wata’ala). Aaamiin ya Rabbal ‘Alamin…
Wallahu A’lam.