Selagi Masih Bisa dengan Kelembutan, Mengapa Harus Kasar?
Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai dinamika yang sering
kali memicu beragam emosi. Kadang, kemarahan atau rasa frustrasi muncul dalam
perjalanan hidup yang tak selamanya mulus. Namun, ketika kita dihadapkan pada
pilihan untuk menanggapi dengan lembut atau kasar, ada satu pertanyaan yang
layak kita renungkan: Selagi masih bisa dengan kelembutan, mengapa harus kasar?
Kelembutan, dalam banyak hal, adalah kekuatan yang tak terlihat.
Kelembutan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kecerdasan emosional dan
spiritual. Sebuah ucapan yang dilontarkan dengan lembut mampu menyejukkan hati
yang panas, meredakan amarah, bahkan mendamaikan perselisihan yang tajam.
Seorang penyair pernah berkata, "Kelembutan adalah bahasa yang bisa
didengar oleh orang tuli dan bisa dilihat oleh orang buta." Artinya, ia
melampaui batas-batas fisik dan langsung menyentuh jiwa.
Dalam Islam, kelembutan adalah salah satu sifat yang sangat
dianjurkan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk berlaku lembut kepada
sesama, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Rasulullah pernah bersabda,
"Barangsiapa yang diharamkan dari kelembutan, maka dia diharamkan dari
segala kebaikan." Hal ini menunjukkan bahwa dalam kelembutan tersembunyi
keberkahan yang luas, sementara kekasaran hanya memupuk kebencian dan
ketegangan.
Ketika seseorang memilih untuk bersikap kasar, sering kali ini
didorong oleh ego atau rasa tidak sabar. Kita merasa harus mendominasi, merasa
harus 'menang' dalam sebuah argumen. Namun kemenangan yang sejati tidak
terletak pada merendahkan orang lain atau menunjukkan kekuatan melalui suara
yang meninggi. Kemenangan yang hakiki adalah ketika kita mampu menjaga hati
kita tetap bersih dan tenang, serta mampu merangkul perbedaan dengan
kebijaksanaan.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga,
pekerjaan, maupun hubungan sosial, sikap lembut dapat menjadi kunci
keberhasilan. Anak-anak yang dibimbing dengan kelembutan akan tumbuh dengan
rasa percaya diri yang lebih besar. Pasangan yang diperlakukan dengan lembut
akan lebih mampu mengatasi masalah dalam rumah tangga. Begitu pula di dunia
kerja, seorang pemimpin yang lembut namun tegas lebih cenderung mendapatkan
loyalitas dan produktivitas dari timnya.
Sebaliknya, kekasaran hanya akan menimbulkan jarak. Kata-kata yang
kasar mungkin bisa mengatasi sebuah masalah sementara, namun luka yang
ditinggalkannya bisa bertahan jauh lebih lama. Menggunakan kekerasan verbal
atau emosional tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga menciptakan
dinding yang menjauhkan kita dari cinta dan kebahagiaan yang seharusnya bisa
kita bagikan.
Kita bisa belajar dari alam, di mana hal-hal yang lembut justru
memiliki ketahanan yang luar biasa. Air, meski lembut dan tenang, mampu
mengikis batu karang yang keras. Ini menunjukkan bahwa dengan ketekunan dan
kelembutan, kita bisa mengatasi tantangan yang tampaknya tak terkalahkan.
Jadi, mengapa harus kasar jika kita bisa memilih kelembutan?
Kehidupan yang indah adalah ketika kita bisa saling memahami, bukan
saling menyakiti. Mari berlatih untuk menanggapi setiap tantangan dan perbedaan
dengan hati yang lembut. Karena di balik setiap tindakan lembut, ada kekuatan
yang lebih besar untuk membangun, menyembuhkan, dan menginspirasi.
Pada akhirnya, kita tak akan diingat dari seberapa keras kita
berteriak, tapi seberapa dalam kita mengasihi dan memperlakukan sesama dengan
kelembutan yang tulus.