Saat yang dinanti telah menjelang di Pesantren
Hasan Jufri. Ujian takhassus, momen yang tak sekadar menguji hafalan dan
pemahaman, tetapi juga menakar kesungguhan dan ketulusan para santri dalam
menapaki jalan ilmu, kian mendekat. Di setiap sudut pesantren, suasana terasa
berbeda—sebuah getaran yang lahir dari semangat yang menggelora.
Malam-malam menjadi lebih sunyi, namun juga lebih hidup. Cahaya lampu yang temaram menemani santri yang tenggelam dalam lautan ilmu. Lantunan ayat-ayat suci berpadu dengan bisikan moraja’ah yang tak henti-hentinya menggema. Buku-buku terbuka, catatan-catatan penuh coretan, seakan menjadi saksi dari perjuangan tanpa lelah. Muthola’ah bukan sekadar ritual, melainkan ikhtiar mendalam untuk menyalakan kembali cahaya ilmu yang pernah mereka genggam.
Di tengah perjalanan ini, semangat untuk berbagi ilmu pun semakin terasa. Diskusi-diskusi bermunculan, pertanyaan-pertanyaan melayang, dan pemahaman kian diasah dalam kebersamaan. Santri bukan hanya belajar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengokohkan barisan pencari ilmu yang saling menopang dan menguatkan. Di dalam ruang-ruang yang sederhana, berkembanglah kecerdasan kolektif yang tak ternilai harganya.
Namun, di balik kesibukan yang menggeliat,
terselip rasa yang tak terelakkan—antara harapan dan ketegangan, antara
keyakinan dan keraguan. Ada santri yang menyambut ujian dengan penuh kesiapan,
ada pula yang berjuang mengalahkan kegelisahan. Namun satu hal yang pasti,
mereka semua melangkah dengan keyakinan bahwa setiap usaha, sekecil apa pun,
memiliki nilai di sisi-Nya.
Sebentar lagi, pena-pena akan menari di atas
kertas ujian, membawa harapan dan doa yang telah lama terpatri. Namun, yang
lebih berharga dari sekadar hasil adalah perjalanan panjang yang telah
dilalui—malam-malam yang dihabiskan dalam penghayatan ilmu, keringat yang
menetes di atas kitab-kitab, dan doa-doa yang lirih terucap di penghujung
sepertiga malam.
Bagi setiap santri yang hendak melangkah ke ruang ujian, ada tanggung jawab yang harus ditunaikan. Ujian takhassus bukan hanya tentang mengingat, tetapi juga membuktikan kedisiplinan. Tanda tangan para Asatidz pada lembaran khusus bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah pengakuan bahwa seorang santri telah menunaikan haknya dalam belajar—menuntaskan makna kitab, menyempurnakan hafalan, mengikuti sorogan dengan tekun, serta menjaga setiap amanah ilmu yang telah diberikan.
Pada akhirnya, bukan hanya nilai yang menentukan,
tetapi jejak-jejak perjuangan yang mereka tinggalkan. Sebab di Pesantren Hasan
Jufri, ilmu bukan sekadar dihafal, tetapi dihayati. Bukan sekadar untuk diri
sendiri, tetapi untuk menerangi perjalanan yang lebih luas. Dan dengan itu,
setiap santri akan melangkah ke medan ujian bukan sekadar untuk diuji, tetapi
untuk membuktikan bahwa mereka adalah penjaga cahaya ilmu yang tak akan padam.