Ada rindu yang
tak pernah selesai, rindu yang lama mengendap di sudut jiwa. Rindu itu bernama
pulang. Bukan sekadar kembali ke rumah yang berdinding kayu atau beratap
genting tua, tapi pulang ke pangkuan Ilahi — tempat di mana setiap hati
menemukan tenang, di mana setiap luka menemukan sembuh.
Ramadan datang,
mengetuk pintu hati yang berdebu. Di tangannya, tergenggam cahaya. Cahaya yang
siap menyinari gelapnya masa lalu, menghapus jejak dosa yang panjang,
menyembuhkan hati yang letih berjalan terlalu jauh dari-Nya.
Dalam setiap
sahur yang sunyi, kita belajar mengucapkan selamat tinggal pada kelalaian.
Dalam setiap lapar yang ditahan, kita diajari arti kesabaran. Dan dalam setiap
sujud yang panjang, kita dilatih menumpahkan air mata sebagai bekal pulang.
Ramadan adalah
jalan pulang yang dibentangkan langit. Di kanan-kirinya tumbuh doa-doa yang
mekar, harum dengan pengharapan. Di sepanjang jalannya, berserak air mata rindu
dari para pendosa yang ingin kembali dipeluk ampunan-Nya.
Tak perlu
menunggu sempurna untuk pulang. Sebab Ramadan bukan milik mereka yang suci
tanpa cela. Ramadan justru hadir untuk mereka yang membawa rapuhnya diri, luka
yang belum sembuh, dan dosa yang tak terhitung.
Wahai jiwa yang
lelah, inilah saatnya. Saatnya menjadi hamba yang pulang. Pulang dengan langkah
gemetar, dengan hati yang patah-patah, dengan doa yang pecah-pecah. Sebab di
ujung jalan Ramadan, ada Tuhan yang menanti, memelukmu lebih erat dari yang kau
kira.
Ramadan adalah
rumah bagi hati yang ingin kembali. Mari pulang, sebelum Ramadan pergi.