
Ramadhan kali ini datang seperti biasa.
Membawa embusan
rahmat yang tak pernah berkurang.
Tapi aku,
aku yang
menyambutnya dengan tangan kosong,
hati kosong,
dan Al-Qur’an
yang kembali aku abaikan.
Dulu waktu
kecil,
tanganku
gemetar waktu pertama kali belajar membaca iqro.
Setiap huruf
hijaiyah terasa sakral,
setiap suara
jadi kebanggaan orang tua.
Tapi sekarang,
tanganku lebih lincah membuka media sosial,
scrolling dunia
yang fana,
sementara
mushaf itu berdebu,
diam di sudut
lemari.
Enam hari
Ramadhan sudah berlalu.
Tapi entah
kenapa, aku lebih akrab sama suara notifikasi,
daripada suara
ayat-ayat Tuhan yang menanti di bibirku.
Aku takut.
Takut kalau
Ramadhan ini lewat lagi seperti tahun kemarin —
hanya sibuk
berburu takjil, sibuk update story,
lalu lupa
memeluk Al-Qur’an.
Padahal, saat
hidup makin gelap,
aku tahu yang
bisa jadi cahaya cuma satu:
ayat-ayat-Nya.
Tapi kenapa aku
gengsi mengaku rindu?
Kenapa aku malu
menangis di depan-Nya?
Ramadhan ini
harusnya jadi waktu pulang,
tapi aku masih
tersesat.
Dulu aku hafal
surat-surat pendek,
sekarang hafal
trending topic.
Dulu aku rajin
mengeja makna,
sekarang sibuk
mengejar likes dan views.
Ya Allah...
aku malu
mengaku hamba.
Aku malu
mengaku rindu pada kitab-Mu,
padahal aku
yang menjauh.
Al-Qur’an tak
pernah menjauh.
Ia tetap di
situ,
menunggu
jemariku menyentuhnya lagi,
menunggu
bibirku melafalkannya lagi,
menunggu hatiku
menghayatinya lagi.
Tapi kenapa aku
takut membuka-Nya?
Takut
diingatkan dosa-dosa yang aku anggap biasa.
Takut
dihadapkan kenyataan bahwa aku semakin jauh,
padahal Engkau
semakin dekat.
Ya Allah...
ini Ramadhan,
aku tahu aku harus pulang.
Tapi aku
bingung harus mulai dari mana.
Maka izinkan
aku mulai dengan air mata.
Biar tangisku
jadi salam pembuka,
saat aku
menyapa Al-Qur’an yang telah lama aku lupakan.
Aku tahu,
Ramadhan tak
lama lagi pergi.
Dan aku juga,
tak tahu apakah
tahun depan aku masih ada di sini.
Kalau ini
Ramadhan terakhirku,
maka izinkan
aku jatuh cinta lagi pada Al-Qur’an,
seperti cinta
pertama saat aku mengeja Bismillah.
Al-Qur’an, maafkan
aku.
Terlalu sibuk
jadi hamba dunia,
sampai lupa kau
adalah kunci keselamatan paling nyata.
Aku pulang,
dengan tangan
gemetar,
dengan dada
sesak oleh dosa,
dengan hati
yang penuh luka karena menjauh dari-Mu.
Ramadhan ini,
aku tak minta banyak.
Cuma satu:
Izinkan aku
jatuh cinta lagi pada ayat-ayat Tuhan,
dan biarkan
cinta itu membawaku pulang.