Ramadhan tidak
datang membawa gemuruh. Ia tiba seperti angin tipis menjelang subuh—pelan,
dingin, tapi menusuk hati sampai ke sudut yang selama ini kita lupa. Di bulan
ini, lapar dan haus bukan soal kekurangan. Justru di situlah kita diajak
melihat, betapa selama ini kita terlalu penuh. Penuh gengsi, penuh ambisi,
Penuh oleh apa-apa yang kita kira penting, padahal justru membuat
kita kehilangan diri sendiri.
Lapar di
Ramadhan bukan musuh, ia guru. Mengosongkan perut ternyata sama dengan membuka
jendela di dalam dada. Kita jadi peka. Suara hati yang biasanya tenggelam di
tengah keramaian, kini terdengar lirih. Sederet tanya mengalir dari sunyi—apa
kabar imanmu? Sejauh mana kau berjalan meninggalkan Tuhan? Kenapa dunia begitu
sering membuatmu lupa pulang?
Lalu
malam-malam Ramadhan. Ada sunyi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sunyi yang menggandeng air mata, mengajak kita duduk berdua dengan Tuhan, tanpa
perantara. Tidak ada yang perlu pura-pura, karena di sepertiga malam itu, semua
topeng kita jatuh sendiri. Yang tersisa hanya doa paling jujur, doa yang
mungkin bahkan tak berbentuk kalimat, hanya getar di dada yang Tuhan pasti
paham maknanya.
Keindahan
Ramadhan justru lahir dari situ. Dari lapar yang menyadarkan, dari sunyi yang
memulangkan. Dari kesadaran bahwa segala yang kita genggam selama ini, ternyata
bukan apa-apa. Kita tidak lebih dari hamba yang terus-menerus mencari arah
pulang.
Maka Ramadhan,
dalam diamnya, bukan ingin kita jadi sempurna. Ia hanya ingin kita berhenti
sejenak, mendengar lagi suara hati yang lama kita matikan. Sebab di sanalah
Tuhan menunggu, di sepi yang kita hindari, di ruang-ruang hening yang jarang
kita hampiri.