Asal Usul Halal Bihalal: Jejak Tradisi, Gema Hati yang Merawat Luka

 


Halal bihalal. Dua kata yang barangkali sering kita ucapkan tanpa benar-benar menyelami maknanya. Ia terdengar ringan, tapi menyimpan kedalaman yang luar biasa. Di tengah suasana Syawal yang penuh kehangatan, halal bihalal tidak hanya sekadar tradisi berjabat tangan—ia adalah gema hati yang mengajak kita pulang. Pulang ke ruang maaf, pulang ke pelukan silaturahmi, pulang ke hakikat kemanusiaan.

Namun, dari mana asalnya tradisi ini? Dan mengapa ia terasa begitu penting bagi bangsa kita?


Jejak Sejarah: Ketika Bangsa Membutuhkan Pelukan

Asal usul halal bihalal tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia pasca-kemerdekaan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, negeri ini sedang dirundung banyak konflik politik dan sosial. Ketegangan antar elit, perpecahan ideologi, dan kehati-hatian antarpihak menjadi tembok yang membatasi keakraban.

Di tengah kegelisahan itu, Presiden Soekarno menginginkan ada momen rekonsiliasi nasional. Namun, dalam suasana pasca-Ramadhan, beliau enggan menggunakan istilah formal yang kaku. Maka datanglah ide dari KH. Wahab Hasbullah—seorang ulama besar Nahdlatul Ulama—yang mengusulkan istilah "halal bihalal". Sebuah istilah yang hangat, akrab, dan mencairkan suasana.

Sejak saat itu, halal bihalal menjadi sarana untuk menyatukan kembali yang berselisih, menyambung kembali yang terputus, dan mempererat yang telah renggang.


Makna Tersembunyi: Lebih dari Sekadar Maaf

Halal bihalal bukan hanya tentang kata “maaf lahir batin”. Ia adalah pengakuan diam-diam bahwa kita tidak sempurna, bahwa dalam perjalanan hidup ini, kita pasti pernah menyakiti dan tersakiti. Dan karena itulah, kita butuh momen untuk menundukkan hati, membuka tangan, dan menerima kembali kehadiran orang lain dalam hidup kita.

Dalam halal bihalal, yang dijabat bukan hanya tangan—tapi luka, kenangan, dan ego yang perlahan dilembutkan.


Ritual yang Menyentuh Jiwa

Cobalah perhatikan wajah-wajah dalam halal bihalal. Ada raut malu bercampur haru. Ada senyum yang menahan air mata. Ada pelukan yang menghapus tahun-tahun kesalahpahaman. Di sana, halal bihalal menjelma jadi ritual pemurnian jiwa, bukan hanya formalitas sosial.

Ia mengajarkan bahwa keberanian sejati bukan hanya dalam memimpin, tapi juga dalam merendah untuk memaafkan dan meminta maaf.


Lebih dari Budaya—Ia adalah Kebutuhan

Mengapa halal bihalal terasa penting? Karena manusia, sejatinya, diciptakan untuk hidup bersama. Tapi hidup bersama tak selalu mudah. Luka bisa terjadi, jarak bisa terbentuk. Maka kita butuh jembatan—dan halal bihalal adalah salah satu jembatan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Ia bukan sekadar budaya warisan, tapi kebutuhan spiritual dan sosial kita sebagai manusia.


Penutup: Merawat Tradisi, Menyentuh Hati

Dalam dunia yang semakin tergesa, kadang kita lupa bahwa yang paling dibutuhkan bukan sekadar kemajuan, tapi kehangatan. Dan halal bihalal adalah cara bangsa ini mengingatkan dirinya sendiri: bahwa tak ada kemajuan tanpa hati yang saling terhubung.


Maka mari kita jaga tradisi ini. Bukan karena ia warisan nenek moyang, tapi karena di dalamnya, tersimpan cara paling lembut untuk menjadi manusia seutuhnya.



Post a Comment

Previous Post Next Post